BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kita tahu bahwa memeluk suatu keyakinan atau
agama adalah hak setiap warga Negara. Tapi dalam realitanya ada beberapa
kejanggalan yang sering terjadi. Seperti yang akan saya jelaskan dalam kasus
proses pendirian rumah ibadah. Mengapa di Indonesia masih terjadi perang dingin
antar umat beragama?
Konflik seputar keberadaan rumah ibadah masih
mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia pada tahun 2008. Center for Religious
and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat
sedikitnya 12 kasus gangguan rumah ibadah yang terjadi. Kasus itu mulai dari
pengrusakan, pembongkaran, penghentian pembangunan gedung ibadah, hingga
pembubaran ibadah. Sebelumnya juga diberitakan bahwa sepanjang tahun 2008 tidak
ada terobosan signifikan yang diinisiasi oleh negara dalam memberikan jaminan
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dalam laporan kondisi
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dibuat oleh SETARA
Institute, Institute for Democracy and Peace dan dipublikasikan di Jakarta,
Selasa (13/1) lalu, juga dipaparkan adanya kecenderungan yang terjadi justru
memburuk dari tahun ke tahun.
Konflik bisa terjadi juga antar aliran yang
berbeda dalam satu agama seperti kasus penyerangan gereja di Nabire, Papua,
karena konflik antarjemaat Gereja Solograsia dan jemaat Gereja Injili. Lebih
banyak konflik yang terjadi terkait persoalan izin pendirian rumah ibadah.
Kasus pembubaran Misa Paskah di Gereja Santo Johannes Baptista Parung, Bogor,
adalah salah satu contohnya. Ratusan warga yang menamakan diri Forum Komunikasi
Remaja Muslim "Jamiul Fata" mendatangi tempat ibadah tersebut, yang
saat itu hanya memakai tenda di lapangan terbuka milik salah satu umat, dan
menggagalkan Misa Paskah.
B. PERMASALAHAN
1. Mengapa
di beberapa daerah masih terjadi perang antar agama (terkait masalah bangunan
rumah ibadah)?
2. Bagaimana
proses pendirian rumah ibadah yang benar?
C. DASAR
HUKUM
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Peraturan
Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PEMASALAHAN ANTAR UMAT
BERAGAMA
Kisruh Masalah Perizinan Rumah Ibadah Antar
Umat Beragama.
Sebagian masalah di seputar rumah ibadah ini mencerminkan konflik antar masyarakat sipil atau antarumat beragama. Seperti, pengrusakan kompleks Pura Sengkareng di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dan pelarangan renovasi Gereja Pentakosta di Lampung.
Sebagian masalah di seputar rumah ibadah ini mencerminkan konflik antar masyarakat sipil atau antarumat beragama. Seperti, pengrusakan kompleks Pura Sengkareng di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dan pelarangan renovasi Gereja Pentakosta di Lampung.
Padahal kita tahu masalah agama adalah hak
setiap warga Negara dan ini telah mendapat perlindungan dari Negara. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 1, 2, dan 3 telah diatur mengenai hak
setiap warga Negara untuk memeluk agama dan mendapat kebebasan dan pelindungan
dalam menjalankan ibadahnya.
Peraturan Bersama (Perber) 2006 dari
Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri tahun 2006 telah dikeluarkan juga,
yang antara lain mengatur tentang pendirian rumah ibadah, pada kenyataannya
konflik sekitar masalah rumah ibadah di lapangan masih saja terjadi.
Kekhawatiran agama tertentu terhadap proses agamisasi dari agama lain di dalam
masyarakat bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik.
"Tidak ada alasan apa pun bagi agama
untuk menghakimi agama lain terkait perizinan. Justru dalam hal ini agama lain
memberikan saran dan masukan melalui forum antaragama yang ada. Aparat negara
juga menjadi bagian penting untuk mencegah terjadinya benturan dan melindungi
korban kekerasan. Sekali kekerasan terjadi seharusnya ada tindakan hukum sesuai
prosedur yang berlaku.
Jika persoalannya adalah karena izin pendirian
bangunan dan kemudian mau tidak mau kelompok keagamaan yang mendirikan tempat
ibadah harus memperjelas posisi izinnya. Maka ketika izin telah dimiliki, namun
masih saja ada ancaman baik dari aparat negara maupun kelompok keagamaan yang
lain, mereka bisa menuntut perlindungan dari negara.
Peran negara yang diwakili aparat negara
memang sangat penting untuk mencegah konflik bernuansa agama tersebut. Masalah
izin bangunan tempat ibadah sering menjadi biang konflik, tetapi sesungguhnya
pokok permasalahannya adalah sikap gamang dari aparat negara yang tidak mau
memberi izin. Padahal, kebebasan menganut agama dan beribadah menurut agama dan
keyakinan itu dijamin UUD 1945, konstitusi tertinggi di Indonesia. Jika hal ini
terus berlanjut, maka akan makin banyak rumah tinggal atau ruko yang digunakan
sebagai tempat ibadah, dan sekali lagi hal itu akan menjadi sumber konflik,
bukan karena umat beragama bersangkutan tidak mau mengurus izin, tetapi justru
izinnya dihambat oleh aparat negara sendiri yang semestinya berdiri di atas
semua warganya.
2. PROSES
PENDIRIAN RUMAH IBADAH
Untuk proses pendirian bangunan rumah ibadah
telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri
Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
Dalam BAB IV telah di jelaskan bagaimana proses pendirian rumah ibadah, diantara nya yaitu :
Dalam BAB IV telah di jelaskan bagaimana proses pendirian rumah ibadah, diantara nya yaitu :
Pasal 13
(1) Pendirian
rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di
wilayah kelurahan/desa.
(2) Pendirian
rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam
hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah
penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.
Pasal
14
(1) Pendirian
rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
bangunan gedung.
(2) Selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah
ibadat harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi :
a. daftar
nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas
wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa;
c. rekomendasi
tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi
tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3).Dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan
persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Pasal
15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat
FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pasal
16
(1). Permohonan
pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk
memperoleh IMB rumah ibadat.
memperoleh IMB rumah ibadat.
(2) Bupati/walikota
memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan
pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat(1).
Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan
lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang
dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
"Tidak ada alasan apa pun bagi agama untuk
menghakimi agama lain terkait perizinan”. Justru dalam hal ini agama lain
memberikan saran dan masukan melalui forum antaragama yang ada. Aparat negara
juga menjadi bagian penting untuk mencegah terjadinya benturan dan melindungi
korban kekerasan. Sekali kekerasan terjadi seharusnya ada tindakan hukum sesuai
prosedur yang berlaku. Kekhawatiran agama tertentu terhadap proses agamisasi
dari agama lain di dalam masyarakat bisa menjadi faktor penyebab terjadinya
konflik.
Jadi
sudah selayaknya kita saling menghargai dan menghormati antar umat beragam.
Janganlah ini dijadikan sebagai sumber konflik dalam beragama. Dan pemerintah
juga harus memberikan penyelesaian atau respon yang baik terhadap konflik yang
ada. Agar setiap agama dapat menjalankan ibadahnya dengan baik tanpa ada rasa
takut atau intimidasi dari pihak lain yang nantinya dapat menggangu jalannya
ibadah.
Tinggal
bagaimana kita dapat melaksanakan apa yang telah diatur oleh pemerintah. Dalam
proses pendirian rumah ibadah pun telah diatur ketentuan-ketentuannya. Mulai
dari perizinan lokasi nya sampai pembangunannya. Adalah hak kita untuk
berkumpul dan berserikat, gunakanlah hak anda sebaik-baik mungkin.
DAFTAR
PUSTAKA
1. UUD
1945
2. Peraturan
Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
SILAHKAN COPY JIKA ARTIKEL INI MENARIK NAMUN HARAP CANTUMKAN SUMBERNYA
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
terima kasih telah berkunjung sobat.
Silahkan komentar,kritik dan sarannya
setidaknya tegur sapa.heheh