Definisi Outsourcing
Dalam
pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract
(work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara
mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:
“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :
“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :
“Strategic
use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal
staff and respurces”.
Menurut
definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan
mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya
kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak
kerjasama.
Beberapa
pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan
definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih
Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian
operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar
(perusahaan jasa outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni
Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya)
sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang
tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai
penerima pekerjaan.
Sebenernya,
di negara maju bisnis outsourcing udah bukan lahan baru lagi, ia udah muncul
sejak tahun 1900-an. Namun di negara berkembang outsourcing baru unjuk gigi
sejak dua dekade silam.
Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya.
Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaan-pekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan.
Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM.
Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam perekrutan.
Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll.
Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Santo, mencoba memberikan pandangannya mengenai ketidaknyaman para fresh grad untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Beliau mengatakan, hal tersebut mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya.
Di lain pihak, Iftida Yasar selaku CEO PT Persaels dan Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) straight to the point mengatakan kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini ‘ngerjain’ job seekers dengan cara yang bermacam-macam. Mereka yakin, karena kita butuh banget pekerjaan maka kita akan melakukan apa saja asal bisa dapet pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan kita akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi kita untuk dibodohi. (persaels)
Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya.
Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaan-pekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan.
Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM.
Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam perekrutan.
Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll.
Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Santo, mencoba memberikan pandangannya mengenai ketidaknyaman para fresh grad untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Beliau mengatakan, hal tersebut mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya.
Di lain pihak, Iftida Yasar selaku CEO PT Persaels dan Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) straight to the point mengatakan kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini ‘ngerjain’ job seekers dengan cara yang bermacam-macam. Mereka yakin, karena kita butuh banget pekerjaan maka kita akan melakukan apa saja asal bisa dapet pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan kita akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi kita untuk dibodohi. (persaels)
Sebenernya,
di negara maju bisnis outsourcing udah bukan lahan baru lagi, ia udah muncul
sejak tahun 1900-an. Namun di negara berkembang outsourcing baru unjuk gigi
sejak dua dekade silam.
Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya.
Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaan-pekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan.
Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM.
Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam perekrutan.
Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll.
Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Santo, mencoba memberikan pandangannya mengenai ketidaknyaman para fresh grad untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Beliau mengatakan, hal tersebut mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya.
Di lain pihak, Iftida Yasar selaku CEO PT Persaels dan Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) straight to the point mengatakan kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini ‘ngerjain’ job seekers dengan cara yang bermacam-macam. Mereka yakin, karena kita butuh banget pekerjaan maka kita akan melakukan apa saja asal bisa dapet pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan kita akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi kita untuk dibodohi. (persaels)
Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya.
Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’ tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaan-pekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan.
Dan hal itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari situ kita bisa lihat, betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM.
Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam perekrutan.
Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga, Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll.
Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem outsourcing, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Santo, mencoba memberikan pandangannya mengenai ketidaknyaman para fresh grad untuk mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Beliau mengatakan, hal tersebut mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang berlaku tidak adil terhadap karyawannya.
Di lain pihak, Iftida Yasar selaku CEO PT Persaels dan Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) straight to the point mengatakan kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu, sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini ‘ngerjain’ job seekers dengan cara yang bermacam-macam. Mereka yakin, karena kita butuh banget pekerjaan maka kita akan melakukan apa saja asal bisa dapet pekerjaan. Selain itu, ketidaktahuan kita akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi kita untuk dibodohi. (persaels)
Out sourcing dan pengelolaan tenaga kerja
Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan:
I. Pendahuluan Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).
I. Pendahuluan Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).
1. Salah
satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini
perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia
(SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
2. Outsourcing
(Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses
bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut
melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria
yang telah disepakati oleh para pihak.
3. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.
3. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.
4. Pengaturan
hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun
2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen
101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap
pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
5. Outsourcing
tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing
perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan
outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari
pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi,
benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam
bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern
perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain
yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan
beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:
Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II. Definisi OutsourcingDalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary.
6. “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing.
7. “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:
Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II. Definisi OutsourcingDalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary.
6. “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing.
7. “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).
8. Pendapat
serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri
kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
9. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang KetenagakerjaanUU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.
9. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang KetenagakerjaanUU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.
10. Pada
perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan
dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan
dengan tenaga kerja.
Dalam aspek SDM (sumber daya
manusia), outsourcing (alih daya) merupakan salah satu pilihan. Praktik alih
daya merupakan pilihan yang cukup ampuh dalam bidang usaha karena dapat
mengefisiensikan segala biaya, dalam hal ini biaya tenaga kerja. Namun
demikian, meskipun alih daya semakin berkembang terutama di Eropa, praktik alih
daya mengalami hambatan-hambatan hukum di Indonesia.
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara jelas menampung istilah alih daya. Adapun referensi soal alih daya yang ada ialah Pasal 64, 65, dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Karena ketidak jelasan alih daya itu pula, sebagian besar pelaku sering kali melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam hal sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain misalnya, harus memenuhi syarat-syarat:
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara jelas menampung istilah alih daya. Adapun referensi soal alih daya yang ada ialah Pasal 64, 65, dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Karena ketidak jelasan alih daya itu pula, sebagian besar pelaku sering kali melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam hal sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain misalnya, harus memenuhi syarat-syarat:
(a) dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama
(b) dilakukan dengan perintah langsung atau
tidak langsung dari pemberi pekerjaan
(c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan
secara keseluruhan
(d) tidak menghambat proses produksi secara
langsung
Selain itu, dalam hal pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal ini kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yaitu kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), dan usaha penyediaan angkutan pekerja.
Terlepas dari itu, pro kontra alih daya pun muncul ketika pengusaha dan pekerja (baca: masyarakat) sama-sama sulit dengan beban hidup. Kedua pihak sejatinya saling membutuhkan.
Saran tentang praktik alih daya (selain harus dijelaskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan), yaitu:
Selain itu, dalam hal pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal ini kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yaitu kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan seperti usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman (security), dan usaha penyediaan angkutan pekerja.
Terlepas dari itu, pro kontra alih daya pun muncul ketika pengusaha dan pekerja (baca: masyarakat) sama-sama sulit dengan beban hidup. Kedua pihak sejatinya saling membutuhkan.
Saran tentang praktik alih daya (selain harus dijelaskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan), yaitu:
(1) diaturnya upah awal yang
harus ditetapkan (baca: bukan upah minimum) sehingga upah tersebut relatif lebih
besar daripada pekerja tetap.
(2) Dalam hal terjadi tarik-menarik soal
kenaikan upah, maka perlu ditanamkan kesadaran bahwa pengusaha dan pekerja
memiliki hak yang sama untuk hidup layak. Dengan demikian, dalam hal ini,
negaralah yang berkewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya melalui pengusaha/pekerja
sebagai sarananya.
(3) Pekerja perlu diberikan
pengetahuan tentang motivasi meningkatkan produksinya.
(4) Pekerja perlu dibekali
ilmu perencanaan keuangan sebagai komponen kesejahteraan (selain upah) pekerja,
sehingga dapat mengatur keuangan yang dimilikinya dan tidak mencampuradukkan
tekanan masalah di rumah ke perusahaan.
(5) Pekerja perlu diberikan pengetahuan
wirausaha sebagai komponen kesejahteraannya, sehingga sewaktu-waktu dapat
berani memensiunkan diri secara dini dan akhirnya berwirausaha yang berdampak
pada saling bergantinya posisi pekerja (bergiliran) dengan generasi berikutnya.
Ilmu-ilmu yang dapat
dijadikan komponen kesejahteraan selain upah itu janganlah dijadikan beban
biaya, tetapi investasi. Dengan demikian, setiap pengusaha dan pekerja dapat
menyadarinya dalam situasi dan kondisi yang sama-sama sulit ini.
SILAHKAN COPY JIKA ARTIKEL INI MENARIK NAMUN HARAP CANTUMKAN SUMBERNYA
{ 2 komentar... read them below or add one }
Artikelnya menarik...
nice article, please visit my blog
Software Accurate
Posting Komentar
terima kasih telah berkunjung sobat.
Silahkan komentar,kritik dan sarannya
setidaknya tegur sapa.heheh