Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang
ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah.
Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah
diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi.
Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan:
Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah
antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung;
Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan
melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan,
kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni
ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai
pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan
energinya kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah
yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap, dan obyektif. Sifat
yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada
manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat
menurut Sunnatullah:
"… Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang)
memastikan (menentukan) ukurannya dengan sangat rapi." (QS 25:2)
"… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3)
Sifat yang kedua adalah tetap,
tidak berubah-ubah:
"… Tidak ada yang sanggup menggubah kalimat-kalimat
Allah." (QS 6:115)
"… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah kami …" (QS 17:77)
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
"…, bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105)
Demikianlah alam semesta
diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang (kemudian)
diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai khalifah.
Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa potensi
seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan
memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini.
"Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya …" (QS 2:31)
Dengan akal dan ilmu yang
dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta
bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan
amanat tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah
telah mengikuti dan mematuhi pola dan garis besar yang diberikan melalui para
nabi dan rasul yang termuat dalam ajaran agama.
Manusia
Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan
manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan akal dan karunia
Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai
potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran,
kalbu, jiwa, raga, serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan
menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan:
"…
Mereka (manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), "Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4)
punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya)
dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut
antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar
(QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi Al-Qur’an
dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang
memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya
mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai
rsa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983:
19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia mempunyai berbagai ciri sebagai
berikut:
"…
‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.’ " (QS 7:172)
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku." (QS 51:56)
"Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30)
"Dan
katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29}
"…
Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang
dilakukannya." (QS 52:21)
Manusia menurut agama Islam,
terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal dari
tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an
mengungkapkan proses penciptaan manusia:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits,
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya, setiap manusia dikumpulkan kejadiannya
dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nuthfah (air mani), empat
puluh hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah), selama itu pula sebagai mudhghah
(segumpal daging). Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke
dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim itu" (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli
sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi
hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan
(kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan
atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia
dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah
yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna
tentang filsafat manusia:
Atas kebebasan memilih tersebut,
manusia bergerak dalam spektrum yang mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya mengarah
ke jalan setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah Allah kepada-Nya
, memilih apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub
mulia ke arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk
yang benar yang terdapat dalam agama Allah yaitu agama Islam, yang
menyeimbangkan antara dunia dan akherat.
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi
hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1) alam gaib, (2) alam
rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat. Dari
kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan
tahap yang menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia
dikaruniai Allah dengan berbagai alat perlengkapan dan bekal agar dapat
menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi, serta pedoman agar selamat
sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal di akherat
nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan
Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah secara ritual
menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila
memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah
hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu
tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh makan dan minum.
Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi
kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah ritual
belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah
manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan
ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka.
Tujuan ibadah:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21)
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani
mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal
dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban, karenanya
Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar
manusia dapat terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
Agama:
Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya
(sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama dapat diutarakan
sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia
dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan
dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang
merupakan perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam
pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa, religion hanyalah mengatur
hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam,
istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia
dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam
itu jadi agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah sama,
karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas
sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan
mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya
maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama,
namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan
dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap
hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Sejak adanya manusia dimuka bumi ini, sejak itu pula
mulailah orang membuat sesembahan, tempat yang dipuja dan dipuji, tempat yang
dianggap suci, karena manusia tahu, bahwa diluar dia ada berdiri satu
kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar, lebih sempurna dari pada kekuatan
dan kekuasaan yang ada pada dirinya. Orang menyembah batu dan kayu, menyembah
tanah dan air, menyembah api dan angin, singkatnya macam-macam akal dan daya
upaya manusia untuk mencari perlindungan, mencari keselamatan bagi dirinya
semasa hidupnya.
Zaman jahiliyah yang kuno itu sudah lampau. Diganti dengan
jahiliyah modern, yang pada hakekatnya pun tidak beda dengan kegelapan pada
zaman dahulu kala itu. Berpuluh–puluh, beratus–ratus, bahkan beribu kali
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan utusan–utusannyaNya ( rasul ) dan Nabi–NabiNya
( pembawa berita dari Allah ), untuk memperbaiki keadaan manusia, didalam
hidup dan pergaulannya.
Tiap–tiap utusan Allah itu diturunkan, tiap–tiap kalinya
ia mendapat tantangan dari kaum jahilin dengan kekerasan dan kekejaman. Oleh
sebab itu tidak jarang ada nabi yang terbunuh ataupun yang di usir dari
tempat tinggalnya. Hanya karena menyiarkan berita–berita atau agama dari pada
yang esa. Satu–satunya Dzat yang wajib disembah oleh tiap–tiap makhluk.
Dari
pada berpuluh–puluh, dari sekian banyaknya nabi Allah itu, yang paling
terakhir, yang penutup ialah Nabi Muhammad Rosulullah Saw. Nabi kesudahan
yang menutup dan mencukupkan serta menyempurnakan segala nabuwah dari pada
Allah. Nabi ialah seorang yang membawa benih kesejahteraan, benih kesentosaan,
sekalian peraturan–peraturan ( addin–agama ) karena karunia dan kasih dari
pada Allah jua. Hal ini dengan nyata disebutkan di dalam Al–Quran, Surat
Al–Anbiya ayat 107, sebagai berikut :
Dan tidaklah Allah mengirimkan
kamu kedunia, melainkan untuk memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Perkataan ’alam’ disini ditujukan kepada sekalian makhluk,
sekalian bangsa manusia, bahkan berarti pula segala apapun, yang ghaib dan
yang nyata. Ayat yang kita kutipkan diatas ini cukuplah kiranya menjadi bukti
kenyataan, bahwa agama yang diataskan oleh Allah atas sekalian Agama yang
lainnya ( yang lebih dulu–>sebab kemudian dari itu tidak ada Rasullullah
lagi–ialah Agama islam. Lebih tegas lagi didalam Al–Quran Surat Ali–Imran
ayat 18 :
,,,, Bahwasanya agama yang sempurna dalam pandangan Allah ialah agama islam….”
Dalam kitab yang sekecil ini bukanlah maksud kita
membicarakan masalah agama dan manusia dengan seluas–luasnya, melainkan
hanyalah sekedar yang mengenai garis–garis besarnya, dengan harapan,
mudah-mudahan dengan sepatah dua patah perkataan yang tuiliskan atau
berkenanlah hendaknya Allah membukakan mata–hati kita, hingga kita mengetahui
akan maksud dan tujuan hidup yang sempurna, sebagai yang diajarkan oleh
penghulu besar, Nabi Muhammad SAW.
Agama Dalam Kehidupan Manusia
Siapapun orangnya, rakyat biasa
atau pembesar, dan apapun agamanya pasti tidak terlepas dari yang namanya
aturan. Tiap agama menuntut kepada setiap penganutnya untuk selalu berada
dalam aturan agama yang dianutnya. Karena itu, agama memberikan
batasan dan mengatur kehidupan penganutnya.
Seseorang yang dalam kesehariannya
tidak di batasi dengan adanya aturan, niscaya hidupnya bagaikan kapas yang
tertiup angin. Dalam arti, hidup orang tersebut tidak mempunyai arahan yang
jelas.
Menurut Hafidz Abdurrahman dalam
bukunya Islam Politik Dan Spiritual menyatakan bahwa manusia adalah hewan,
sama dengan hewan yang lain. Jika hewan yang lain mempunyai kebutuhan jasmani
dan naluri, maka manusia juga demikian. Bedanya manusia diberi akal,
sedangkan hewan yang lain tidak.
Mengenai bukti-bukti bahwa manusia
mempunyai akal, sedangkan hewan yang lain tidak, nampak dari perbedaan yang
terdapat pada kehidupan masing-masing hewan tersebut.
Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad
SAW diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sehingga jika kita
ingin melihat lebih jauh implikasi dari akhlak yang baik adalah seseorang
akan lebih mengetahui betapa pentingnya akan adanya aturan dalam agama, yang
sebenarnya adanya aturan dapat memberikan batasan mana yang harus dikerjakan
dan yang harus ditinggalkan.
Karenanya, ketika seorang Muslim
yang ingin menikah lagi, yang memang menurut Islam sendiri itu di perbolehkan
namun yang pasti dibalik itu semua tidak terlepas dari aturan yang
adil. Menurut Dr Ahmad Satori, adil itu mempunyai tiga makna: adil
materi, adil hati, adil jatah.
Namun, dari sudut pandang agama
Kristen sebagaimana diungkapkan Rachmat T. Manullang (Pengamat Sosial
Keagamaan) hanya menganut paham Monogami, kalaupun dalam perjanjian lama ada
Nabi-nabi yang melakukan Poligami itu bukan karena kehendak Allah (Baca:
Alah) tetapi karena kekerasan hati manusia itu sendiri.
Memang, selain menjadi identitas
diri, agama juga memberikan kepada setiap penganutnya ajaran-ajaran, baik
yang berhubungan dengan Sang Pencipta ataupun sesama makhluk hidup. Sehingga
apapun pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang baik yang beragama Islam atau
Non-Islam, itu semua tidak terlepas dari aturan agama.
Oleh sebab itu, ketika seseorang
menyadari akan adanya aturan dalam kehidupan kesehariannya, ia pasti akan
mengatur (mengkonsep) akan kegiatan sebelum melakukannya. Dan yang pasti
hasil antara orang yang sebelumnya mengatur berbeda dengan sebelumnya tidak
mengatur (mengkonsep). Disinilah peran penting agama dalam memberikan aturan
kepada para penganutnya, yang jelas-jelas dalam Islam sendiri ketika
seseorang ingin bahagia dunia dan akhirat haruslah mengikuti aturan-aturan
yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Ketika Aturan Di Abaikan
Dalam kehidupan sehari-hari tak
jarang seseorang menyimpang dari aturan agama. Dan ia hanya mengabiskan
waktunya hanya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang mungkin jauh dari
nilai-nilai kebaikan. Dan mungkin juga selama ini seseorang ataupun diri kita
sendiri, menganggap aturan adalah sesuatu yang dapat menghalangi keinginan
kita dalam bertindak. Lihat saja ketika sepasang insan yang ingin
melakukan hubungan suami istri yang sah, pastinya ia terikat dengan adanya
tali perkawinan. Namun masalahnya adalah, bagaimana jika seseorang tidak
ingin lagi mengikuti aturan agama?
Dan jika kita ingin melihat
sejarah raja-raja terdahulu yang mengabaikan akan adanya aturan agama,
seperti Fir’aun yang tidak mau menyembah kepada Allah SWT. Dan justru ia
malah menganggap dirinya sebagai Tuhan yang merasa paling kuat, paling berkuasa
atau Qorun dimana ia juga menganggap harta yang dimilikinya adalah hasil dari
usahanya sendiri yang katanya Tuhan tidak ikut campur. Tetapi akhirnya ia
juga harus merasakan dahsyatnya azab dari Allah yang dalam meninggalnya jauh
dari kewajaran.
Mengenai masalah aturan, aturan
juga sangat berpengaruh ketika seseorang berada dalam suatu organisasi.
Dimana setiap ketua sampai kepada anggotanya dibutuhkan visi dan misi yang
sama, sehingga organisasi yang di kelolanya mempunyai tujuan (arahan) yang
jelas.
Namun suatu organisasi bisa saja
mengalami kegagalan, jika salah satu dari anggotanya tidak dapat menjalani
aturan yang ada dengan baik. Hingga dapat dikatakan, betapa pentingnya aturan
dalam kehidupan. Karenanya disadari atau tidak, mau atau tidak memang
setiap seseorang harus siap untuk diatur dalam agamanya. Dan yakinlah agama
yang kita anut mengatur kepada penganutnya untuk kebaikan diri kita sebagai
penganut agama yang sejati.
Saling Menasehati
Islam adalah agama rahmatan lil
a’lamin, dimana setiap penganutnya di tuntut untuk selalu menebarkan kasih
sayang kepada seluruh makhluk hidup. Kalaupun ada para penganutnya yang
melakukan kesalahan, mengabaikan akan adanya aturan itu, yang salah adalah
orangnya sendiri bukan kesalahan dari agama yang dianutnya.
Dalam Islam ketika ada para
penganutnya yang melakukan kesalahan, sepantasnya seseorang yang sudah
mengetahui akan ilmunya segera untuk saling menasehati dalam kebenaran (lihat
Qs Al-Ahsr :3).
Begitu indahnya aturan agama Islam
yang mungkin secara tidak langsung ketika seseorang melakukan kebaikan, itu
pasti ada nilai tambah disisi Allah SWT.
Melihat persoalan sebelumnya yang
mungkin sebagian orang menganggap akan adanya aturan justru itu membebani
kepadanya, itu adalah sikap yang sebenarnya harus di perbaiki. Dan karenanya,
setiap muslim harus mampu mengatakan yang benar walaupun itu menyakitkan
baginya.
Akhirnya, ketika seseorang sudah
mengabaikan aturan agama yang ada, maka akan nampaklah kerusakan-kerusakan.
Sebagaimana terungkap di media massa, banyak orang tak mau tunduk lagi pada
aturan agama. Jika aturan agama tak lagi diindahkan, pasti akibatnya akan
kembali kepada manusia
sendiri.
Mengapa manusia butuh agama ?
Adalah suatu pertanyaan yang tidak
mudah untuk dijawab. Namun, kita melihat potensi-potensi yang dimiliki
manusia, maka kita akan menemukan beberapa jawaban terhadap pertanyaan
tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Manusia sebagai
makhluk Allah memiliki banyak kelebihan dibanding dengan makhluk yang yang
lain; tetapi dibalik kelebihan yang banyak itu, manusia juga tidak
luput dari banyak kekurangan, kelemahan dan kemampuan yang terbatas. Manusia
terbatas pada alam sekitarnya, warisan keturunan dan latar belakang
kebudayannya/hidupnya,; yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan dalam
menghadapi suatu masalah, bahkan seringkali bertentangan antara satu dengan
yang lainnya.
Pandangan yang simpang siur
tersebut (subyektif) tidak akan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran,
tetapi senantiasa diliputi oleh kabut keragu-raguan (dzanny), sehingga
manusia senantiasa gagal dalam menentukan kebenaran secara mutlak, ia tidak
sanggup menentukan kebaikan dan keburukan (haq dan batil), ia tidak dapat
menentukan nilai-nilai semua hal yang demikian itu adalah di luar bidang ilmu
pengetahuan manusia.
Untuk mengatasi ataupun memberikan
solusi terhadap kegagalan manusia sebagai akibat dari kelemahannya, itu maka
diperlukan agama/wahyu yang berasal dari luar manusia, yakni Allah swt.
melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini dapat terjadi karena Allah swt.
adalah Maha Sempurna, sehingga wahyu yang diturunkan-Nya merupakan kebenaran
mutlak dan bersifat universal yang tak perlu diragukan lagi,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 147,
الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنْ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran
itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
meragukannya”
2. Dalam diri manusia
terhadap hawa nafsu, yang senantiasa mengajak manusia kepada kejahatan,
apalagi kalau hawa nafsu tersebut sudah dipengaruhi oleh syaitan/iblis yang
senantiasa menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika manusia dapat
mengalahkan pengaruh hawa nafsu dan syaitan tersebut, maka ia akan lebih
tinggi derajatnya daripada malaikat; tetapi, jika ia mengikuti ajakan hawa
nafsunya dan syaitan tersebut, maka ia akan turun derajatnya lebih rendah
daripada binatang.
Untuk mengatasi pengaruh hawa
nafsu dan syaitan itu, manusia harus memakai senjata agama (iman), karena
hanya agama (imanlah) yang dapat mengatasi dan mengendalikan hawa nafsu dan
syaitan/iblis itu; sebab agama merupakan sumber moral dan akhlak dalam Islam.
Itulah sebabnya, missi utama manusia, sebagaimana hadits beliau yang
menyatakan: Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Melawan hawa nafsu dan syaitan
adalah jihad akbar, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw. sewaktu kembali dari
perang Badar: Kita kembali dari jihad (perang) yang paling kecil menuju jihad
yang paling besar, para sahabat bertanya: adakah perang yang lebih besar dari
perang ini ya Rasulullah? Nabi menjawaab : ada, yakni melawan hawa nafsu.
Di samping itu, ada hadits lain
yang mengatakan: Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga hawa
nafsunya semata-mata mengikuti agama Islam yang kaubawa.
3. Manusia dengan
akalnya semata, tidak mampu mengetahui alam metafisika, alam akhirat yang
merupakan alam gaib, dan berada di luar jangkauan akal manusia,
sebagaimana firmana Allah dalam Q.S. al-Nahl (27) : 65,
وَاللَّهُ
أَنزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
“Dan Allah menurunkan air (hujan)
dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang tadinya sudah mati.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)“
Akal manusia mempunyai batas-batas
kemampuan tertentu, sehingga tidak boleh melampaui batas dan wewenangnya.
Oleh karena itu, banyak masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh akal
manusia, terutama masalah alam gaib; dan di sinilah perlunya agama/wahyu
untuk meberikan jawaban terhadap segala masalah gaib yang berada di luar
jangkauan akal manusia. Di sinilah letak kebutuhan manusia untuk mendapat bimbingan
agama/wahyu, sehingga mampu mengatasi segala persoalan hidupnya dengan baik
dan menyakinkan.
4. Para sainstis yang
terlalu mendewakan ilmu pengetahuan –banyak yang kehilangan idealisme sebagai
tujuan hidupnya. Mereka dihinggapi penyakit risau gelisah, hidupnya hambar
dan hampa, karena dengan pengetahuan semata, mereka tidak mampu memenuhi
hajat hidupnya; sebab dengan bekal ilmu pengetahuannya itu, tempat
berpijaknya makin kabur, karena kebenaran yang diperolehnya relatif dan
temporer, sehingga rohaninya makin gersang, sebagaimana bumi ditimpa kemarau,
sehingga membutuhkan siraman yang dapat menyejukkan. Di sinilah perlunya
agama untuk memenuhi hajat rohani manusia, agar ia tidak risau dan gelisah
dalam menghadapi segala persoalan hidup ini.
5. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan kebahagiaan dan
kesejahteraan bagi umat manusia. Namun, dibalik semuanya itu, kemajuan ilmu
pengetahuann dan tehnologi pula yang banyak menimbulkan kecemasan dan ancaman
keselamatan bagi umat manusia. Berbagai konflik yang maha dahsyat terjadi
diberbagai belahan dunia dewasa ini merupakan dampak negatif dari pada
kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi itu, dengan ilmu dan tehnologi,
manusia memproduksi senjata, namun dengan senjata itu pula manusia
banyak menjadi korban. Di sinilah perlunya agama, karena hanya agama (iman)
lah yang dapat mencegah agar ilmu dan tekhnologi tersebut tidak
berubah menjadi senjata makan tuan/pagar makan tanaman. Agamalah yang mampu
menjinakkan hati manusia yang sesat, untuk berbuat baik kepada diri
sendiri dan kepada orang lain.
Sumber : berbagai sumber
|
SILAHKAN COPY JIKA ARTIKEL INI MENARIK NAMUN HARAP CANTUMKAN SUMBERNYA
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
terima kasih telah berkunjung sobat.
Silahkan komentar,kritik dan sarannya
setidaknya tegur sapa.heheh